Kecerdasan Buatan: Perkembangan dan Dampak
Kecerdasan Buatan (dalam bahasa Inggris: Artificial Intelligence, disingkat AI), 10 tahun lalu mungkin masih jadi bahan guyonan di masyarakat. Kini jika Anda menyadarinya, istilah AI menjadi tren dan pionir di mana-mana. Istilah AI bisa dikatakan jadi kata kunci keren di kalangan bisnis dan industri. Sementara bagi kawula muda, AI erat dikaitkan dengan film-film fiksi sains semacam Ex Machina, dimana dalam film tersebut muncul sebuah robot berbentuk menyerupai manusia.
Apa sebenarnya AI itu dan bagaimana cara kerjanya? Bagaimana sejarah serta perkembangannya sejauh ini? Apakah AI bisa mengambil alih dunia kita? Apakah ada etika/aturan khusus dalam pengembangan teknologinya? Mari simak penjelasan dan ulasan selengkapnya!
Apa itu Kecerdasan Buatan?
Kecerdasan buatan adalah kecerdasan yang ditambahkan oleh manusia ke dalam suatu sistem teknologi, diatur dan dikembangkan dalam konteks ilmiah, bentukan dari kecerdasan entitas ilmiah yang ada.
Berikut ini adalah definisi kecerdasan buatan menurut para ahli:
- John McCarthy, 1956
Kecerdasan buatan adalah usaha memodelkan proses berpikir manusia dan mendesain mesin agar dapat menirukan perilaku manusia.
- Herbert Simon, 1987
Kecerdasan buatan adalah tempat suatu penelitian, aplikasi dan instrusksi yang terkait dengan pemrograman komputer dalam melakukan suatu hal yang menurut pandangan manusia ⎼ cerdas.
- Rich dan Knight, 1991
Kecerdasan buatan adalah suatu studi mengenai bagaimana membuat komputer mampu melakukan hal-hal yang pada saat ini masih bisa dilakukan lebih baik oleh manusia.
Catatan:
Jadi intinya definisi AI dapat terus dikembangkan, namun poin utamanya adalah bagaimana manusia menciptakan teknologi yang mampu berpikir seperti manusia itu sendiri. Apa saja contoh kecerdasan buatan? Simak lebih lanjut!
Jenis-jenis Kecerdasan Buatan
(gambar cuplikan dari film Ex Machina)
AI tak melulu berbentuk robot yang menyerupai manusia. Anda perlu mengetahui apa saja jenis teknologi yang tergolong AI. Pada dasarnya, ada 3 jenis, yaitu:
- Symbol-manipulating AI
AI yang satu ini bekerja dengan simbol abstrak. Symbol-manipulating AI termasuk jenis yang paling banyak eksperimennya. Inti eksperimennya adalah manusia direkonstruksi pada tingkat yang hierarkis dan logis. Informasinya diproses dari atas, lalu bekerjanya dengan simbol yang dapat dibaca manusia/si pengembang, koneksinya abstrak dan hasil simpulannya logis.
- Neural AI
Jenis AI satu ini sangat populer di kalangan ilmuwan komputer pada akhir 80-an. Dengan Neural AI, pengetahuan tidak direpresentasikan lewat simbol, tetapi lebih ke neuron buatan dan koneksinya ⎼ semacam otak yang direkonstruksi. Pengetahuan yang terkumpul nantinya dipecah menjadi bagian-bagian kecil (disebut neuron) dan kemudian dihubungkan serta dibangun menjadi kelompok-kelompok. Nah, pendekatan ini dikenal sebagai metode bottom-up yang bekerja dari bawah. Tidak seperti Symbol-manipulating AI yang pertama penulis jelaskan. Jadi, sistem sarafnya harus dilatih dan distimulasi supaya jaringan saraf bisa mengumpulkan pengalaman dan tumbuh supaya bisa mengumpulkan pengetahuan yang lebih besar.
- Neural Networks
Neural Networks diatur ke dalam lapisan yang terhubung satu sama lain lewat simulasi. Lapisan paling atas adalah lapisan input, yang fungsinya seperti sensor. Sensor yang dimaksud adalah penerima informasi yang akan memproses dan meneruskannya ke sistem. Ada setidaknya dua sistem — atau lebih dari dua puluh lapisan dalam sistem besar — lapisan yang tersusun secara hierarkis. Lapisan-lapisan itu yang mengirim dan mengklasifikasikan informasi lewat koneksi. Di bagian paling bawah adalah lapisan output, yang umumnya sih punya jumlah neuron buatan paling sedikit.
Apakah Anda kesulitan memahaminya? Penulis akan memberikan penjelasan sederhananya:
Pada intinya cara kerja AI berdasar pada fondasi machine learning . Arti machine learning apa? Artinya, suatu sistem membangun pengetahuan dari pengalaman . Nah, proses itulah yang membuat sistem punya kemampuan buat mendeteksi pola serta aturan, secara cepat dan akurat.
Sejarah dan Perkembangan
Pembahasan sejarah AI tak bisa dilepaskan dari sosok John McCarthy. Ia disebut-sebut sebagai “Bapak AI”, walaupun eksperimen terkait telah ada sejak komputer diciptakan.
McCarthy mendapatkan gelar sarjana matematika dari California Institute of Technology (Caltech) pada September 1948. Dari masa kuliahnya itulah ia mulai mengembangkan ketertarikannya pada mesin yang dapat menirukan cara berpikir manusia. McCarthy kemudian melanjutkan pendidikan ke program doktoral di Princeton University.
Sedari sekolah, ia memang dikenal memiliki kepintaran diatas rata-rata. Berdasarkan ulasan dari The Guardian , diketahui bahwa saat remaja McCarthy bahkan bisa menguasai pelajaran kalkulus tanpa bimbingan dari guru.
McCarthy kemudian mendirikan dua lembaga penelitian kecerdasan buatan. Kedua lembaga AI itu adalah Stanford Artificial Intelligence Laboratory dan MIT Artificial Inteligence Laboratory. McCarthy juga merupakan dosen di kedua universitas ternama tingkat internasional tersebut. Di lembaga-lembaga inilah bermunculan inovasi pengembangan AI yang meliputi bidang human skill, vision, listening, reasoning dan movement of limbs. Bahkan Salah satu lembaga yang didirikan itu, Stanford Artificial Intelligence pernah mendapat bantuan dana dari Pentagon untuk membuat teknologi-teknologi luar angkasa.
Bagaimana dengan Indonesia sendiri? Walaupun belum ada ilmuwan Indonesia menghasilkan temuan kecerdasan buatan yang benar-benar diakui di mata dunia, anak-anak muda semacam Digital Nativ ini terus berinovasi dengan teknologi, bahkan memadukannya dengan unsur seni dan alam. Ingin tahu siapa mereka dan apa saja yang mereka lakukan? Simak video berikut!
Dunia Diambil Alih oleh Kecerdasan Buatan (?)
Di bulan Juli tahun 2017 lalu, berita teknologi cukup dihebohkan dengan kabar bahwa Facebook memberhentikan eksperimennya setelah salah satu staf menemukan dua buah program AI mereka saling berkomunikasi satu sama lain dengan bahasa ciptaan mereka sendiri yang tak dimengerti manusia. Hanya kedua program itulah yang saling mengerti pesan yang disampaikan ke satu sama lain.
Kengerian bahwa pengembangan AI mungkin akan setara dengan kecerdasan manusia, bahkan melebihi kecerdasan manusia itu sendiri, juga bahwa ada implikasi negatif AI terhadap kemanusiaan di masa depan ⎼ sebenarnya tak hanya disuarakan orang awam. Ilmuwan yang diakui di dunia seperti Stephen Hawking juga sempat berpendapat sama . Jadi, problematik dari AI ini tak sekadar ide bikinan dalam film-film fiksi sains semacam The Matrix.
Anda dapat menonton TED Talk dari seorang neuroscientist ternama Sam Harris, berikut ini:
Dari video tersebut, kita mengetahui bahwa ada kemungkinan kita sebagai manusia ⎼ pengembang AI lepas kendali dan AI jadi menyebabkan kekacauan. Seperti yang Sam sampaikan, ini hal yang cukup masuk akal untuk terjadi.
Mengapa? Anda tentunya sudah baca penjelasan penulis di bagian Jenis-jenis Kecerdasan Buatan soal cara kerja AI. Dari situ kita mengetahui bahwa atom-atom dalam AI dapat berkembang terus-menerus hingga menghasilkan suatu pengetahuan yang benar-benar komprehensif dan pada akhirnya sanggup juga menjalankan suatu aksi yang dianggap AI perlu untuk dilakukan (berdasarkan pengetahuan yang dihimpun tersebut).
Walaupun demikian, ilmuwan tentu dapat mengontrolnya dengan pengawasan super ketat. Nah, yang menjadi masalah adalah bagaimana ilmuwan membatasi dirinya sendiri. Inilah mengapa suatu konsensus terkait etika pengembangan AI perlu dipertimbangkan secara serius.
Jurnal Kecerdasan Buatan
Penulis menyarankan Anda untuk membaca kedua dokumen PDF berikut ini, untuk lebih memahami soal etika pengembangan AI:
Ini adalah Draft untuk Cambridge Handbook of Artificial Intelligence yang ditulis oleh Nick Bostrom Eliezer Yudkowsky. Walaupun jurnal ini dibuat pada tahun 2011, Anda bisa mendapatkan sudut pandang kritis (dalam bahasa Inggris: insight) dari kalangan akademisi yang ingin mewujudkan adanya konsensus soal etika pengembangan AI yang lebih jelas dan terukur.
Tulisan ini dibuat sebagai hasil dari kesepakatan European Group on Ethics in Science and New Technologies (EGE) pada bulan Maret tahun ini, 2018. Akan ada pertanyaan-pertanyaan kunci yang akan dibahas, disertai dengan pembahasan soal kerangka pemikiran (framing) terkait etika pengembangan AI.
Euforia AI di Sektor industri dan Nasib Tenaga Kerja
Seperti yang telah penulis sampaikan di pengantar artikel, sektor industri akhir-akhir ini diwarnai dengan euforia menyambut AI. Berita-berita bisnis lumayan banyak diwarnai kebanggan berbagai industri dalam memanfaatkan teknologi canggih AI. Kalangan pekerja ikut bereaksi terhadapnya, ada yang optimis AI tidak akan mengambil alih lahan pekerjaan mereka, ada juga yang pesimis dan cenderung panik.
Mengapa para pekerja sampai panik? Contoh sederhananya pabrik roti yang dahulu memakai tenaga manusia dalam mengemas roti, kini sudah tentu bila produksi dalam jumlah besar memakai tenaga mesin. Tujuan teknologi otomasi semacam itu memanglah akurasi dan efisiensi. Tapi tak sampai di situ, dengan adanya pengembangan AI, robot-robot pintar mungkin menggantikan pekerja di berbagai bidang pekerjaan.
Lalu kenapa? Ya dengan demikian, mata pencaharian manusia berkurang, sumber penghasilan manusia juga berkurang. Tetapi, memang bisa saja manusia-manusia pekerja mengerjakan hal-hal lain untuk mendapat penghasilan. Sayangnya, kemungkinan besar, pekerjaan penggantinya bakal membosankan dan upahnya rendah. Begitulah skema yang tergambar sekilas.
Apa benar ini mungkin terjadi? Silakan cek Primer.ai . Pekerjaan sebagai peneliti saja sudah bisa digantikan AI. Lalu apa yang bisa kita lakukan? Mengandalkan pemerintah untuk pegang kendali memang sering menjadi sikap para pekerja, menunggu kejelasan dan tanggapan dari otoritas. Tapi kita harus menyadari sebagai pekerja dan sebagai manusia yang utuh, kita punya kuasa dalam mengendalikan situasi jika berserikat untuk menyepakati pandangan yang benar, bahwa sungguh, secanggih-canggihnya teknologi, manusia tidak tergantikan.
Pelaku utama atau bintang dari revolusi teknologi yang ada ⎼ bukanlah hasil temuannya, melainkan kita sebagai manusia-manusia pekerja yang benar-benar hidup dengan kecerdasan dan kreativitas murni. Kita tentu tidak boleh tunduk pada benda mati. Jangan sampai kita termakan agenda para pemodal dan pebisnis yang ingin membuat kita merasa begitu tergantung nasibnya pada kekuasaan/hasil-hasil temuan mereka. Teknologi canggih ini memang memudahkan pekerjaan kita, tetapi tak bisa menggantikan semangat (passion) kerja kita yang mengandung pula kreativitas tanpa batas serta nilai estetika tersendiri. Ini semua yang membuat kita disebut hidup, bukan benda mati.
Lihat bagaimana keluarga Fukushima dari Jepang menghidupkan pekerjaannya, di video Great Big Story ini:
Simpulan
Dengan membaca artikel ini, Anda dapat mengetahui pengertian AI, sejarah dan perkembangannya. Tak hanya itu, kami juga telah menunjukkan sudut pandang penulis soal bagaimana perkembangan kecanggihan teknologi ini menjadi problematik. Bagaimana menurut Anda? Silakan menyampaikan pendapat Anda di kolom komentar.
Sumber https://www.dewaweb.com/blog/kecerdasan-buatan/
Komentar
Posting Komentar